Resensi buku berjudul : Malam Seribu Jahanam

Judul Koleksi         : Malam Seribu Jahanam

Penulis                  : Intan Paramaditha

Penerbit                 : Gramedia Pustaka Utama

Tahun Terbit          : 2023

Cetakan                 : 1

Jumlah Halaman    : 350 halaman

ISBN                      : 978-602-06-7144-4

ISBN Digital           : 978-602-06-7149-9

 

Sinopsis

Malam Seribu Jahanam karya Intan Paramaditha adalah sebuah novel yang menyuguhkan kisah gelap, simbolis, dan penuh lapisan makna tentang perempuan, warisan keluarga, dan bayang-bayang kepercayaan yang membentuk kehidupan. Berlatar di Rumah Victoria—sebuah rumah yang menjadi pusat ingatan, kutukan, dan lorong tanpa ujung—kisah ini mengisahkan perjalanan batin dan fisik tiga cucu Hajjah Victoria binti Haji Tjek Sun: Mutiara, Maya, dan Annisa. Mereka adalah tiga dara yang sejak kecil telah ditakdirkan oleh ramalan sang nenek: satu akan berkelana, satu akan menjaga, dan satu lagi akan menjadi pengantin.

Ketika salah satu dari mereka mengkhianati takdir, keseimbangan hancur dan rahasia keluarga mulai terkuak. Salah satu dara yang tersisa terperangkap di rumah itu, menjelajahi ruang-ruang absurd seperti dapur dengan kuali raksasa dan sumur terlarang—elemen-elemen magis yang mencerminkan trauma, luka warisan, dan pertanyaan-pertanyaan besar tentang keimanan dan identitas. Ketika agama dan kitab suci tidak lagi menjadi pegangan, muncul sosok perempuan lain—ia tidak diundang, tetapi datang untuk menuntut penjelasan. Ia mewakili suara-suara yang selama ini diabaikan oleh sejarah dan narasi besar keluarga.

Dalam nuansa surealis yang khas, Intan Paramaditha mengangkat kisah tentang rasa bersalah, rasa malu, dan peran-peran yang dibebankan kepada perempuan oleh struktur keluarga, agama, dan masyarakat. Novel ini bukan sekadar horor; ia merupakan refleksi mendalam tentang rapuhnya tali persaudaraan dan keretakan kelas menengah Indonesia—yang terlihat mapan di permukaan, tetapi rapuh dan penuh bayang-bayang di dalamnya. Karakter-karakternya hidup dalam konflik antara warisan leluhur dan keinginan untuk bebas menentukan jalan hidup sendiri.

Dengan gaya bahasa yang puitis, eksperimental, dan penuh simbolisme, Malam Seribu Jahanam menjelma menjadi semacam dongeng gelap yang menyindir tatanan sosial dan spiritual yang tak lagi memberi ruang bagi kompleksitas perempuan. Rumah Victoria bukan hanya bangunan fisik, tetapi juga ruang batin tempat segala rahasia, dosa, dan luka generasi lalu bercokol dan membentuk generasi setelahnya. Novel ini memadukan kisah horor lokal dengan tafsir budaya dan religius yang kaya, menjadikannya bacaan yang provokatif sekaligus menggugah.

Secara keseluruhan, Malam Seribu Jahanam adalah novel yang menantang, mendalam, dan tidak mudah dilupakan. Ia menggabungkan elemen horor, feminisme, mitos, dan kritik sosial ke dalam satu narasi yang menyayat dan menyihir. Bagi pembaca yang tertarik pada kisah-kisah di luar pakem, yang menawarkan lebih dari sekadar hiburan, novel ini adalah pintu menuju ruang-ruang gelap yang perlu dijelajahi—bukan untuk takut, tetapi untuk memahami dan mengingat.

Biografi Penulis
Intan Paramaditha lahir di Bandung pada 15 November 1979. Ia dikenal sebagai seorang pengarang dan akademisi yang karya-karyanya banyak mengusung tema feminisme, horor, dan gothic dengan pendekatan eksperimental dan politis. Gaya penulisannya memadukan narasi gelap dengan kritik sosial, serta sering kali menggugat norma-norma yang melekat dalam budaya, agama, dan keluarga patriarkal. Karya-karya fiksinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Stephen J. Epstein dan diterbitkan oleh Harvill Secker (Penguin Random House UK).

Karier kepenulisannya mulai menanjak sejak menerbitkan kumpulan cerpen perdananya berjudul Sihir Perempuan pada tahun 2005, yang masuk dalam nominasi lima besar Kusala Sastra Khatulistiwa. Pada tahun 2018, sebagian cerita dari buku tersebut diterbitkan di Inggris dan Australia dalam versi bahasa Inggris berjudul Apple and Knife. Novel pertamanya, Gentayangan: Pilih Sendiri Petualanganmu (2017), terpilih sebagai prosa terbaik oleh Majalah Tempo dan diterjemahkan menjadi The Wandering (2020). Karya ini mendapatkan berbagai pengakuan internasional seperti PEN Translates Award dari English PEN, PEN/Heim Translation Fund Grant dari PEN America, dan masuk ke dalam longlist penghargaan The Stella Prize di Australia.

Selain menulis, Intan juga aktif dalam berbagai proyek kolaboratif dan pengembangan pemikiran feminis. Ia turut menyusun antologi Kumpulan Budak Setan (2010) bersama Eka Kurniawan dan Ugoran Prasad, serta ikut serta dalam pertunjukan Goyang Penasaran (2012–2013) bersama Teater Garasi dan Naomi Srikandi. Ia juga menyunting antologi Deviant Disciples: 5 Indonesian Women Poets (2020) untuk seri Translating Feminisms oleh Tilted Axis Press. Sebagai salah satu pendiri Sekolah Pemikiran Perempuan, ia turut menggerakkan kolektif feminis dekolonial lintas Nusantara.

Intan meraih gelar doktor (Ph.D.) dari New York University pada tahun 2014 dan kini mengajar kajian media di Macquarie University, Sydney. Karyanya telah membawanya menjadi pembicara di berbagai forum internasional, seperti Sydney Writers’ Festival, Broadside Feminist Ideas Festival (Melbourne), Hong Kong International Literary Festival, hingga English PEN Literary Salon. Ia juga pernah menjadi narasumber di institusi akademik terkemuka seperti Harvard University, Leiden University, dan École des Hautes Études en Sciences Sociales (EHESS). Intan Paramaditha kini dikenal sebagai salah satu suara paling kuat dan progresif dalam peta sastra Indonesia kontemporer.

Kelemahan Buku
Salah satu kelemahan utama terletak pada kompleksitas gaya penulisan yang sangat simbolik dan eksperimental, sehingga tidak mudah diakses oleh semua kalangan pembaca. Banyak metafora, alegori, serta pergeseran narasi antara realitas dan fantasi yang menuntut tingkat pemahaman dan sensitivitas sastra yang cukup tinggi, sehingga pembaca umum atau yang kurang akrab dengan gaya sastra eksperimental bisa merasa tersesat dalam jalinan kisahnya.

Selain itu, ritme cerita dalam beberapa bagian terasa lambat dan penuh repetisi simbolik yang, meskipun memperkuat atmosfer surealis dan horor, dapat menimbulkan kelelahan mental bagi sebagian pembaca. Struktur cerita yang tidak linier serta narasi yang melompat-lompat antar waktu dan ruang bisa menimbulkan kebingungan, khususnya bagi mereka yang mencari kejelasan alur atau keterikatan emosi yang lebih langsung terhadap karakter. Hal ini menjadikan buku ini kurang cocok untuk pembaca yang menginginkan cerita dengan jalan cerita yang runtut dan mudah diikuti.

Di sisi lain, meskipun tokoh-tokohnya (seperti Mutiara, Maya, dan Annisa) hadir sebagai simbol perlawanan dan kompleksitas perempuan dalam konteks budaya dan agama, eksplorasi karakter mereka kadang terasa lebih konseptual daripada emosional. Kedalaman psikologis yang dibangun lebih bertumpu pada simbolisme dan metafora dibandingkan pada perkembangan karakter yang gradual dan relasional, sehingga hubungan pembaca dengan tokoh bisa terasa lebih jauh, bahkan asing.

Terakhir, tema-tema besar seperti agama, feminisme, dan trauma keluarga disampaikan dengan pendekatan yang sangat politis dan provokatif. Bagi sebagian pembaca, pendekatan ini bisa terasa konfrontatif, bahkan menyudutkan, terutama jika dibaca tanpa kerangka berpikir kritis atau keterbukaan terhadap dekonstruksi nilai-nilai tradisional. Dengan demikian, Malam Seribu Jahanam memang bukan bacaan ringan atau universal, melainkan sebuah karya yang menantang, dan karena itu, tidak semua pembaca akan dapat atau bersedia bertahan sampai akhir.

Kelebihan buku
Buku Malam Seribu Jahanam karya Intan Paramaditha memiliki sejumlah kelebihan menonjol yang menjadikannya sebagai karya sastra penting dan berani dalam peta sastra Indonesia kontemporer. Salah satu keunggulan utamanya adalah keberhasilan penulis dalam menggabungkan elemen horor gotik dengan narasi feminis dan kritik sosial-politik yang tajam. Intan tidak hanya menciptakan ketegangan melalui suasana menyeramkan, tetapi juga menyelipkan pertanyaan-pertanyaan eksistensial dan struktural tentang peran perempuan, warisan budaya patriarkal, serta kerapuhan iman dalam bingkai naratif yang puitis dan menggugah.

Gaya bahasa yang digunakan dalam novel ini juga sangat khas dan kuat secara estetika. Intan mengolah kata-kata dengan presisi dan kedalaman simbolik, menciptakan atmosfer surealis yang memikat dan mencekam sekaligus penuh makna. Narasi disusun dengan alur yang tidak konvensional namun tetap terstruktur, menjadikan pembaca seperti terperangkap dalam labirin cerita yang reflektif dan penuh kejutan. Imajinasi visual yang kuat juga membuat pembaca seolah dapat melihat langsung kuali raksasa, sumur gelap, dan rumah Victoria yang mengandung banyak misteri.

Kelebihan lain dari buku ini adalah kekuatan karakterisasi yang melampaui batas-batas konvensional. Tokoh-tokoh seperti Mutiara, Maya, dan Annisa tidak hanya hadir sebagai individu, tetapi sebagai representasi dari berbagai bentuk pengalaman perempuan dalam menghadapi tekanan sosial, konflik batin, dan pertarungan spiritual. Intan juga menghadirkan tokoh-tokoh periferal yang membawa suara-suara tak terdengar, seperti perempuan yang datang tanpa diundang, yang menjadi simbol bagi mereka yang dilupakan oleh sejarah dan struktur dominan. Dalam hal ini, novel ini membuka ruang untuk narasi alternatif dan resistensi terhadap sistem yang membungkam.

Secara tematik, Malam Seribu Jahanam sangat kaya. Ia tidak hanya berbicara tentang keluarga dan horor rumah tangga, tetapi juga mengangkat isu agama, politik kelas menengah, kolonialisme budaya, hingga spiritualitas perempuan. Intan menyatukan semua elemen ini dalam cara yang subtil namun tajam, membuat novel ini menjadi semacam refleksi multidimensi tentang Indonesia modern dengan segala paradoks dan bayangannya. Ini menjadikan buku ini relevan tidak hanya secara sastra, tetapi juga sebagai bahan pemikiran dalam diskusi sosial dan budaya.

Singkatnya, Malam Seribu Jahanam adalah karya sastra yang kompleks, provokatif, dan penuh gaya. Keberaniannya dalam mengeksplorasi tema-tema sensitif dan menyampaikannya dalam bentuk yang artistik dan tidak biasa adalah kekuatan utamanya. Buku ini bukan sekadar bacaan, melainkan pengalaman intelektual dan emosional yang menantang persepsi pembaca tentang agama, perempuan, keluarga, dan horor itu sendiri.

Kesimpulan
Kesimpulan dari buku Malam Seribu Jahanam adalah bahwa Intan Paramaditha tidak sekadar menulis sebuah kisah horor, tetapi menciptakan sebuah alegori gelap tentang kompleksitas menjadi perempuan dalam lingkaran keluarga, budaya, dan keyakinan yang membentuk dan membelenggu. Melalui kisah Mutiara, Maya, dan Annisa—tiga cucu yang hidup dalam bayang-bayang ramalan Hajjah Victoria—pembaca diajak masuk ke dalam labirin ingatan, trauma, dan spiritualitas yang sarat luka. Rumah Victoria bukan hanya ruang fisik, tetapi juga menjadi simbol dari warisan yang tak terelakkan: rahasia keluarga, dosa yang diwariskan, serta sistem sosial dan agama yang tidak selalu adil terhadap perempuan.

Novel ini menunjukkan bagaimana perempuan dipaksa menjalani peran yang telah ditentukan oleh struktur tradisi: sebagai penjaga, pengembara, atau pengantin—peran yang sering kali hanya berfungsi untuk menopang nilai-nilai sosial yang mapan. Ketika salah satu di antara mereka melawan atau menyimpang dari ramalan, kehancuran tidak hanya terjadi secara personal, tetapi juga mengguncang akar-akar keluarga yang selama ini terlihat kokoh. Di titik inilah, cerita berkembang menjadi pencarian jati diri dan perlawanan terhadap takdir yang dibentuk oleh suara-suara di luar diri mereka.

Intan Paramaditha dengan lihai menenun cerita-cerita Islami, mitos lokal, dan realitas sosial ke dalam narasi yang mengaburkan batas antara kenyataan dan khayalan. Ia menyisipkan simbolisme yang kuat untuk menggambarkan rasa malu, bersalah, ketakutan, hingga ketidakadilan yang sering kali tidak terlihat atau diabaikan. Dalam prosesnya, ia juga menggugat praktik beragama yang kaku, keretakan kelas menengah, dan relasi kuasa dalam keluarga serta masyarakat.

Dengan demikian, Malam Seribu Jahanam bukan hanya kisah horor feminis yang memukau, tetapi juga cerminan atas struktur sosial yang merapuhkan perempuan—baik secara fisik, mental, maupun spiritual. Buku ini mengajak pembaca untuk tidak hanya menyimak, tetapi juga merenungkan ulang bagaimana narasi tentang keluarga, agama, dan perempuan dibentuk, dipertahankan, dan (mungkin) perlu ditantang. Sebuah karya sastra yang berani, mendalam, dan menyisakan gema panjang dalam benak pembacanya

Saran
Untuk penyempurnaan buku Malam Seribu Jahanam ke depannya, salah satu saran yang dapat dipertimbangkan adalah memberikan peta naratif atau semacam panduan pembacaan yang ringan di bagian awal atau akhir buku, terutama mengingat gaya penceritaan Intan Paramaditha yang penuh simbolisme, tidak linier, dan kerap menantang struktur konvensional. Ini bertujuan agar pembaca dari kalangan yang lebih luas, termasuk pembaca baru sastra eksperimental, tidak merasa tersesat atau kehilangan konteks dalam mengikuti alur cerita. Selain itu, pengembangan karakter secara emosional—bukan hanya simbolik—dapat menambah daya ikat antara tokoh dan pembaca, sehingga konflik yang dialami para karakter terasa lebih menggugah secara psikologis, bukan hanya filosofis.

Saran lain adalah memasukkan catatan kaki atau glosarium kecil yang menjelaskan referensi budaya, mitos lokal, dan istilah agama yang digunakan dalam novel. Karena Intan menggunakan banyak rujukan dari Islam, budaya Nusantara, hingga wacana feminisme postkolonial, kehadiran penjelasan singkat akan sangat membantu pembaca memahami kedalaman makna tanpa kehilangan momentum dalam membaca. Dari segi fisik buku, versi digital atau interaktif yang memungkinkan pembaca melompat antar bagian berdasarkan struktur "multi-pilihan"—seperti yang pernah ia gunakan dalam Gentayangan—juga bisa menjadi pengembangan menarik, terutama bagi pembaca generasi muda yang terbiasa dengan format non-linier.

Terakhir, buku ini memiliki potensi yang kuat untuk dikembangkan ke dalam medium lain, seperti teater eksperimental, film pendek, atau audio drama, karena kekuatan atmosferik dan visual yang sangat khas. Jika penulis dan penerbit membuka diri terhadap bentuk-bentuk narasi lintas media, Malam Seribu Jahanam tidak hanya akan dinikmati oleh komunitas sastra, tetapi juga menjangkau audiens yang lebih luas, sekaligus memperkaya pengalaman pembaca dalam menginterpretasi kisah yang dalam dan penuh teka-teki ini.

Rekomendasi
Buku Malam Seribu Jahanam sangat direkomendasikan bagi pembaca dewasa yang menyukai karya sastra dengan kedalaman tematik, keberanian bentuk, dan kompleksitas makna. Novel ini ideal untuk para penggemar sastra feminis, pembaca yang tertarik pada isu-isu seputar tubuh perempuan, spiritualitas, dan relasi kekuasaan dalam keluarga serta masyarakat. Selain itu, mahasiswa atau akademisi di bidang sastra, kajian gender, budaya, dan agama akan menemukan nilai analitis yang tinggi dalam novel ini, karena kaya akan simbolisme, tafsir sosial, dan ruang diskusi kritis. Bagi pembaca yang menyukai karya-karya Intan Paramaditha sebelumnya atau menyukai narasi yang tak biasa dan mengaburkan batas antara kenyataan dan metafora, buku ini akan menjadi pengalaman membaca yang menggugah dan menantang.

Namun, buku ini juga penting dibaca oleh siapa saja yang ingin keluar dari zona nyaman narasi populer—mereka yang ingin memahami bagaimana trauma, dosa, iman, dan sejarah keluarga dapat ditulis dari sudut pandang yang gelap, subversif, dan penuh keberanian. Ini adalah karya yang cocok untuk pembaca yang siap berefleksi, bukan sekadar mengikuti cerita, melainkan menelusuri lorong-lorong batin dan sosial yang jarang disentuh oleh sastra arus utama. Dengan demikian, Malam Seribu Jahanam bukan hanya karya sastra, tetapi juga ruang renungan atas dunia yang kita hidupi—terutama bagi mereka yang berani menengok sisi tergelap dari yang terlihat biasa.

Sharing :    
  About

Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sumatera Barat adalah sebuah instansi Pembina Perpustakaan dan Kearsipan di daerah ini.

  Statistik Pengunjung
10 Online
79 Visitor Today
392 Visitor Yesterday
356358 All Visitor
1218352 Total Hits
216.73.216.90 Your IP address

  Contact Us
  Alamat :

Jalan Diponegoro No.4 Padang (Sekretariat dan Perpustakaan Provinsi) dan Jalan Pramuka V No. 2 Khatib Sulaiman Padang (Kearsipan)

Tel : (0751) 7051348
Mail : dapprovsumbar@gmail.com
Business Hours : 7:30 - 15:00